Faktor yang Memengaruhi Rumah Tangga untuk Mengolah Makanan Sisa
Sampah makanan (food waste) menjadi masalah global yang serius. Setiap tahun, ada 1/3 makanan di dunia yang masih layak konsumsi terbuang menjadi sampah. Total nilai sampah makanan yang terbuang setiap tahun mencapai 1,3 miliar ton atau mencapai US$990 miliar (Food and Agriculture Organisation, 2011). Jumlah ini mampu memberi makan 1/8 populasi dunia yang sedang mengalami kelaparan (Food and Agriculture Organisation, 2019).
Selain itu, jumlah sampah makanan yang dibuang per tahun juga setara dengan membuang air sebanyak 250 km3, menghabiskan lahan sebanyak 1,4 miliar hektar, dan membebani atmosfer bumi dengan emisi gas rumah kaca sebanyak 3,3 miliar ton (Food and Agriculture Organisation, 2013).
Rumah tangga teridentifikasi sebagai kontributor sampah makanan terbesar (Gooch & Felfel, 2014). Sektor rumah tangga bertanggung jawab atas 2/3 dari sampah makanan yang dihasilkan di seluruh dunia (United Nations Environment Program, 2021). Oleh karena itu, mengurangi sampah makanan pada tahap konsumsi rumah tangga berpotensi membawa dampak besar apabila diselesaikan.
Aloysius et al. (2023) melakukan penelitian systematic literature review untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan faktor yang memengaruhi timbulnya sampah makanan di tingkat rumah tangga dari kebiasaan konsumen mengelola makanan sisa. Hasil yang didapatkan dari tinjauan literatur dipetakan menjadi 3 tema utama, yaitu motivasi, kesempatan, dan kemampuan. Ketiga tema ini dianggap memiliki hubungan sebab-akibat secara langsung dengan kebiasaan mengelola sampah makanan di rumah tangga.
Kerangka Teori Kebiasaan Menghasilkan Sampah Makanan Sisa Menurut Aloysius et al. (2023)
Faktor Motivasi
Faktor ini merupakan kesediaan seseorang untuk melakukan aksi/tindakan. Dalam konteks sampah makanan di rumah tangga, motivasi mencakup keinginan dan kesiapan konsumen untuk memilah, menyimpan, dan menggunakan kembali makanan sisa. Berdasarkan temuan Aloysius et al. (2023), motivasi konsumen dipengaruhi oleh sikap, persepsi, keyakinan, dan norma sosial.
• Sikap
Konsumen enggan mengonsumsi ulang makanan sisa karena merasa bosan. Rasa bosan ini muncul akibat makanan sisa merupakan hidangan yang telah disajikan sebelumnya. Sikap lain konsumen terhadap makanan sisa sangat dipengaruhi oleh emosi, termasuk perasaan bersalah dan malu ketika membuang makanan. Rumah tangga yang terbiasa mengonsumsi makanan sisa umumnya berpendapat bahwa membuang makanan adalah tindakan tak bermoral. Di sisi lain, perasaan bersalah ini justru menimbulkan hal positif karena dapat meningkatkan kepuasan bagi mereka yang berhasil mengelola makanan sisa dengan baik.
Meskipun sikap merasa bersalah menunjukkan keterkaitan dengan niat untuk mengurangi sampah makanan, penelitian lain menunjukkan bahwa sikap tersebut tidak selalu berkaitan dengan kebiasaan penggunaan ulang makanan sisa. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa meskipun beberapa konsumen merasa bersalah saat membuang makanan yang masih layak konsumsi, mereka tetap akan membuang makanan yang sudah tidak layak konsumsi tanpa banyak pertimbangan. Kebiasaan ini berkontribusi pada kecenderungan untuk menunda pembuangan makanan sisa hingga makanan tersebut membusuk dengan sendirinya, atau bisa disebut sebagai prokrastinasi.
• Persepsi
Makanan sisa sering dianggap sebagai makanan yang telah kehilangan kualitas dan kesegaran dibanding makanan aslinya. Oleh karena itu, konsumen cenderung menghindari penggunaan ulang makanan sisa dan lebih memilih untuk membuangnya. Secara visual, perubahan penampilan dan warna pada makanan sisa juga berkontribusi terhadap keputusan ini. Konsumen menganggap perubahan tersebut mirip dengan makanan yang sudah basi atau rusak. Selain itu, beberapa konsumen juga menganggapnya sebagai makanan bekas. Namun, di sisi lain, ada juga konsumen yang justru menilai bahwa makanan sisa memiliki rasa yang lebih kuat dibandingkan dengan makanan asli yang baru disajikan.
• Kepercayaan
Konsumen sering menganggap makanan sisa berbahaya bagi kesehatan. Anggapan ini menimbulkan rasa takut terhadap risiko timbulnya penyakit setelah mengonsumsi makanan sisa sehingga konsumen mengategorikannya sebagai makanan yang tidak aman. Dalam penelitian lain, beberapa konsumen bahkan menganggap makanan sisa sebagai makanan yang telah tercemar.
Masyarakat dengan kesadaran kesehatan yang tinggi meyakini bahwa makanan sisa memiliki kandungan nutrisi yang berkurang dan dapat menyebabkan peningkatan berat badan. Menurut mereka, memilih makanan yang lebih sehat dianggap lebih penting daripada sekadar menghindari sampah makanan. Pandangan ini umumnya ditemukan pada konsumen dari kelas ekonomi menengah ke atas. Selain itu, kelompok ini juga sering memberikan makanan sisa kepada pembantu rumah tangga mereka dengan asumsi bahwa individu dari kelas ekonomi menengah ke bawah memiliki kesadaran kesehatan yang lebih rendah.
• Norma Sosial
Alasan untuk menghindari penggunaan ulang makanan sisa semakin kuat ketika makanan tersebut disajikan untuk tamu/anak-anak karena dianggap kurang layak untuk dikonsumsi oleh mereka. Dalam beberapa kasus lain, konsumen juga menghindari makanan sisa karena adanya stigma buruk yang melekat. Makanan yang telah dimakan sebagian oleh orang lain, seperti sisa makanan di piring, dianggap tidak bersih dan menimbulkan rasa jijik jika dikonsumsi kembali. Kegiatan membagikan makanan sisa kepada orang lain di luar keluarga juga dianggap kurang wajar oleh sebagian orang. Stigma negatif ini pada akhirnya menyebabkan makanan sisa lebih sering dibuang sehingga berkontribusi pada meningkatnya jumlah sampah makanan.
Faktor Kesempatan
Faktor ini merujuk pada ketersediaan dan aksesibilitas material, serta sumber daya yang dibutuhkan. Dalam konteks sampah makanan di rumah tangga, kesempatan ini mencakup waktu, infrastruktur, serta teknologi. Berdasarkan temuan Aloysius et al. (2023), kesempatan konsumen untuk mengelola makanan sisa dipengaruhi oleh faktor gaya hidup serta ketersediaan infrastruktur/fasilitas penyimpanan yang memadai.
• Gaya Hidup
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa mengolah makanan sisa dapat dianggap sebagai praktik yang lebih hemat energi karena mengurangi usaha untuk merencanakan menu makanan (meal planning) dan usaha untuk mencuci peralatan. Beberapa konsumen juga sengaja menghasilkan makanan sisa untuk menghemat waktu sesi memasak berikutnya, terutama pada waktu-waktu yang terbatas seperti hari kerja. Gaya hidup teratur, seperti makan dengan porsi dan waktu yang teratur, juga mendukung konsumsi ulang makanan sisa. Peristiwa tak terduga seperti Covid-19 juga mendukung penggunaan makanan sisa karena menjadi salah satu bentuk strategi penghematan.
Namun penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan makanan sisa tetap memerlukan usaha, seperti memilah, menyimpan, dan mengolah kembali. Oleh karena itu, beberapa konsumen menganggap bahwa membuat hidangan baru dari makanan sisa justru memerlukan lebih banyak waktu dan tenaga. Selain itu, praktik makan bersama keluarga juga menghambat konsumsi ulang makanan sisa karena jumlahnya tidak mungkin cukup untuk memberi makan semua anggota keluarga. Dalam situasi ini, konsumen lebih memilih untuk membuang makanan sisa supaya lebih praktis dan menghemat ruang penyimpanan.
• Infrastuktur/Fasilitas
Banyaknya sampah makanan juga bisa terjadi karena kurangnya infrastruktur untuk menangani makanan sisa. Kurangnya ruang penyimpanan dan peralatan menyebabkan konsumen tidak bisa menyimpan makanan sisa. Selain itu, jenis wadah penyimpanan, lama penyimpanan, serta kondisi penyimpanan juga memengaruhi keamanan makanan sisa. Bahkan, apabila teknis penyimpanan tidak diperhatikan dengan baik, risiko penyakit yang dibawa dari bakteri dan jamur pada makanan sisa bisa timbul.
Keterbatasan ruang pembekuan di lemari es, yang merupakan cara terbaik untuk mengawetkan makanan sisa, dapat menyebabkan makanan cepat rusak. Suhu lemari es yang menurun akibat terlalu banyak makanan yang disimpan juga mempercepat terjadinya pembusukan makanan.
Selain itu terdapat pengaruh lain terkait dengan cara penggunaan fasilitas. Makanan sisa yang terselip di rak dan terlupakan hingga kedaluwarsa dapat berpotensi menjadi sampah makanan. Kurangnya koordinasi dalam rumah tangga juga dapat menyebabkan sampah makanan semakin banyak. Contohnya ketika anggota keluarga tidak menyadari adanya makanan sisa yang disimpan oleh anggota keluarga lainnya. Selain itu ada juga penelitian yang menemukan bahwa ketersediaan fasilitas penyimpanan saja masih belum cukup untuk mendorong rumah tangga mengelola/mengonsumsi makanan sisa.
Faktor Kemampuan
Kemampuan mengacu pada tingkat kecakapan konsumen dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Berdasarkan temuan Aloysius et al. (2023), kemampuan konsumen dalam mengelola makanan sisa bergantung pada keterampilan untuk memasak dan membuat rencana, serta pengetahuan tentang cara memilah makanan sisa dan kondisi penyimpanan yang optimal.
• Keterampilan/keahlian
Kurangnya keterampilan dalam mengolah kembali makanan sisa dilaporkan sebagai salah satu penghambat dalam usaha pengurangan limbah makanan. Keterampilan dan kompetensi dalam mengolah makanan sisa, seperti mengelompokkan, memilih, menyimpan, dan mengolahnya menjadi hidangan baru merupakan hal yang penting dalam pencegahan sampah makanan di rumah tangga. Keterampilan ini juga berhubungan langsung secara signifikan dengan kemampuan perencanaan (meal planning).
Kemampuan lain yang dibutuhkan, terutama dalam rumah tangga, adalah kemampuan untuk menentukan porsi makanan. Memasak makanan yang berlebihan akibat kegagalan dalam menentukan perkiraan porsi yang sesuai merupakan penyebab utama dari timbulnya makanan sisa. Selain itu, kemampuan untuk memahami preferensi keluarga juga penting untuk dimiliki. Apabila terdapat kegagalan dalam memahami selera dan preferensi makanan dari setiap anggota keluarga, maka risiko timbulnya makanan sisa juga semakin meningkat.
• Pengetahuan
Pengetahuan juga tidak kalah penting dalam usaha untuk mengurangi sampah makanan. Pengetahuan konsumen terkait kondisi penyimpanan yang optimal sangat penting saat menyimpan makanan sisa. Pengetahuan ini mencakup tentang berbagai jenis wadah yang diperlukan, waktu tunggu yang diperlukan sebelum makanan masuk lemari pendingin, serta durasi maksimum penyimpanan makanan. Konsumen juga perlu mengetahui metode untuk mengetes kelayakan makanan dengan menyentuh, mencium, mencicipi, dan mengevaluasi detail produk seperti tanggal kedaluwarsa. Risiko kesehatan yang berkaitan dengan mengonsumsi makanan yang mendekati/melewati tanggal kedaluwarsa juga perlu dimengerti supaya mengurangi potensi pemborosan makanan di tingkat rumah tangga.
Faktor Sosiodemografi
Faktor sosiodemografi dianggap sebagai variabel moderasi dalam hubungan antar faktor utama dengan kebiasaan mengolah makanan sisa. Berdasarkan temuan Aloysius et al. (2023), usia dan tingkat pendidikan menjadi moderasi bagi variabel kemampuan, gender menjadi moderasi bagi variabel motivasi, dan komposisi keluarga menjadi moderasi bagi variabel peluang.
• Usia
Menurut beberapa penelitian, usia memiliki dampak signifikan terhadap pengetahuan tentang pengolahan makanan sisa. Konsumen muda cenderung lebih jarang menyimpan dan mengonsumsi makanan sisa. Selain itu, konsumen muda juga memiliki kemampuan mengolah kembali makanan sisa karena kurangnya keterampilan dan pengalaman apabila dibandingkan dengan konsumen yang lebih tua. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa konsumen yang berusia 35–44 tahun merupakan kelompok usia yang paling sering melakukan aktivitas pengolahan makanan sisa.
• Jenis Kelamin
Penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih merasa tidak nyaman untuk membuang makanan sisa dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu, jumlah limbah makanan sisa yang dihasilkan oleh perempuan cenderung lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Perempuan juga memiliki niat yang lebih kuat untuk menyimpan makanan sisa di lemari pendingin dibandingkan laki-laki, serta memiliki pengetahuan yang lebih baik dalam pengolahan makanan sisa dibandingkan laki-laki.
Dalam konteks keluarga, perempuan lebih sering mengonsumsi makanan sisa. Mengonsumsi makanan sisa dianggap sebagai bentuk pengorbanan oleh beberapa anggota keluarga, terutama ibu. Di sisi lain, perempuan dalam keluarga juga cenderung melakukan pembuangan makanan sisa lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal ini dilakukan sebagai upaya mereka untuk menyediakan makanan yang sehat dan segar bagi keluarga.
• Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan memiliki dampak positif yang signifikan terhadap pengetahuan tentang pengolahan makanan sisa. Tingkat pendidikan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik akan nilai ekonomi dari makanan sisa, risiko kesehatan, dan berbagai alternatif lain yang membantu dalam menentukan cara penyimpanan makanan sisa yang paling aman.
• Tingkat Ekonomi
Tingkat ekonomi juga berpengaruh terhadap timbulan makanan sisa. Pola konsumsi makanan dari konsumen yang berpenghasilan tinggi lebih sering menghasilkan makanan sisa. Terkadang, praktik ini disertai dengan memberikan makanan sisa tersebut kepada rumah tangga lain yang kurang mampu. Praktik ini umum terjadi antara majikan dan pekerja rumah tangga.
• Komposisi Rumah Tangga
Jika dilihat dari status pernikahan, individu yang masih lajang lebih cenderung membuang makanan dibandingkan mereka yang sudah menikah. Selain itu, dibandingkan dengan keluarga kecil (dengan 2–8 anggota), keluarga besar (>8 anggota) lebih sering membuang makanan sisa. Hal ini disebabkan oleh jumlah makanan sisa dari hidangan sesi makan sebelumnya cenderung tidak cukup untuk memberi makan seluruh anggota keluarga sehingga makanan sisa dibuang.
Bagaimana Kondisinya di Indonesia?
Soma (2020) melakukan penelitian menggunakan practice theory untuk memahami pengaruh tingkat pendapatan dan pilihan yang tersedia pada retail terhadap konsumsi makanan dan sampah makanan yang ditimbulkan.
Hasil penelitian menemukan bahwa kelompok berpenghasilan tinggi lebih sering berbelanja di supermarket besar. 93,5% responden dari kalangan yang berpenghasilan tinggi belanja di supermarket modern. Sementara itu, 90,9% responden dari kalangan yang berpenghasilan rendah belanja di warung. Persentase ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh kelas ekonomi yang memberikan segmentasi pada pilihan retail yang menjadi tempat belanja makanan.
Retail seperti supermarket besar, yang dikunjungi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi, cenderung meningkatkan pemborosan makanan karena sering menawarkan diskon massal, seperti ‘beli satu gratis satu’, sehingga mendorong pembelian dalam jumlah besar (stocking up). Pembelian dalam jumlah besar tentunya memperbesar risiko timbulnya sampah makanan. Menurut pengakuan responden yang berasal dari kalangan menengah ke atas, mereka sering menyimpan berbagai makanan di ruang pendingin yang jumlahnya lebih dari 1, dan melupakannya hingga makanan tersebut kedaluwarsa/rusak dengan sendirinya.
Sementara itu, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang berbelanja di warung/pasar tradisional/pedagang sayur keliling cenderung lebih mengandalkan praktik ‘buy today, eat today’ (beli hari ini, makan hari ini) sehingga makanan yang berpotensi terbuang lebih sedikit. Secara alami, para pedagang membatasi konsumsi berlebihan dengan jumlah komoditas yang terbatas sesuai dengan musimnya. Selain itu, kebanyakan pedagang juga masih mengandalkan transaksi tunai sehingga meminimalisir celah bagi pembeli untuk berbelanja melebihi kebutuhan (overbudget). Tidak adanya troli belanja dan strategi pemasaran yang agresif juga menjauhkan pembeli dari konsumsi berlebihan.
Apabila dihubungkan dengan faktor-faktor yang dirangkum oleh Aloysius et al. (2023), faktor motivasi yang berasal dari gaya hidup dan infastruktur memiliki peran yang sangat penting dalam mencegah timbulnya sampah makanan. Oleh karena itu, ada beberapa rekomendasi kebijakan yang diusulkan oleh Soma (2020) untuk menangani kebiasaan pemborosan dan sampah makanan, di antaranya:
• Menjamin keselamatan dan aksesibilitas bagi pedagang sayur keliling dengan memasukkan pusat makanan (food hubs) yang mengintegrasikan pedagang makanan skala kecil dan menengah sebagai bagian dari rencana pengembangan perumahan dan hunian vertikal di masa depan.
• Melakukan revitalisasi pasar tradisional yang memungkinkan para pedagang beradaptasi dengan kebutuhan masa kini serta berkolaborasi.
• Memberi fasilitas/akses yang memungkinkan untuk berjalan kaki ke toko bahan makanan dan membeli dalam jumlah kecil tanpa perlu menimbun persediaan.
• Memberi intervensi di tingkat ritel untuk mengurangi strategi pemasaran yang mendorong konsumsi berlebihan, seperti promosi ‘beli satu gratis satu’.
• Memberi akses terhadap lahan untuk mengompos dan menanam tanaman komoditas yang dikelola secara lokal/setingkat rumah tangga.
Referensi
Aloysius, N., Ananda, J., Mitsis, A., & Pearson, D. (2023). Why people are bad at leftover food management? A systematic literature review and a framework to analyze household leftover food waste generation behavior. Appetite, 186(April), 106577. https://doi.org/10.1016/j.appet.2023.106577
Food and Agriculture Organisation. (2011). Global food losses and food waste – extent, causes and prevention in Food and agriculture organisation. https://www.fao.org/3/i2697e/i2697e.pdf.
Food and Agriculture Organisation. (2013) Urgent collaboration required on food wastage. Food and Agriculture Organization for the United Nations, Rome. [Online]. http://www.fao.org/news/story/en/item/202914/icode/.
Food and Agriculture Organization. (2019). The State of Food and Agriculture. https://www.fao.org/state-of-food-agriculture/2019/en/2019.
Gooch, M., & A. Felfel. 2014. $27 Billion Revisited: The Cost of Canada’s Annual Food Waste. Value Chain Management International Inc. http://vcm international.com/wp-.
Soma, T. (2020). Space to waste: the influence of income and retail choice on household food consumption and food waste in Indonesia. International Planning Studies, 25(4), 372–392. https://doi.org/10.1080/13563475.2019.1626222
United Nations Environment Program. (2021). Food waste index report 2021. https://www.unep.org/resources/report/unep-food-waste-index-report-2021.