Membentuk Konsep Circular Economy dalam Pengelolaan Sampah Organik Berbasis Inti Plasma
Diskusi Jabar Bijak Kelola Sampah di Bappeda Jabar
(16 Agustus 2024)
Diskusi melibatkan Alumni TL ITB di Lingkungan Pemprov Jabar
IATL menghadiri diskusi Jabar Bijak Kelola Sampah di Bappeda Jabar pada tanggal 16 Agustus 2024. Dalam diskusi tersebut dibahas isu-isu strategis persampahan di Jawa Barat terutama pada sektor persampahan. Diskusi tersebut dihadiri oleh kurang lebih 30 alumni TL. Strategi yang dibahas dalam diskusi tersebut yaitu “Membentuk Konsep Circular Economy”
Membentuk Konsep Circular Economy dalam Pengelolaan Sampah Organik Berbasis Inti Plasma
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2024, jumlah timbulan sampah di Indonesia mencapai 73,2 juta ton per tahun, dengan komposisi sampah organik mencapai sekitar 62% (KLHK, 2024). Meskipun angka ini sedikit meningkat dibandingkan tahun 2022, namun pengelolaan sampah organik di Indonesia masih belum optimal. Sebagian besar sampah organik di Indonesia masih dibuang ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) tanpa pengolahan lebih lanjut. Hanya sekitar 15% dari total sampah organik yang dimanfaatkan menjadi kompos atau biogas (Badan Pusat Statistik, 2024). Hal ini tentu saja berdampak buruk bagi lingkungan, seperti pencemaran air, tanah, dan udara, serta potensi penyebaran penyakit. Selain itu, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memiliki kesadaran untuk memilah dan mengelola sampah organik secara mandiri dan upaya edukasi dan kampanye pengelolaan sampah organik di tingkat masyarakat masih perlu ditingkatkan.
Seiring dengan hal itu, sesuai dengan arah kebijakan nasional, tujuan akhir pengelolaan sampah pada prinsipnya adalah pengurangan sampah yang diangkut ke TPA. Ketentuan pemerintah menetapkan bahwa setelah tahun 2030 tidak boleh lagi dibangun TPA baru dan lahan urug hanya akan difungsikan untuk sampah residu dari komunitas maksimal sebesar 10%. UU 18/2008 menyatakan bahwa “Paradigma pengelolaan sampah yang bertumpu pada pendekatan akhir sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru pengelolaan sampah. Paradigma baru memandang sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan”. Dengan demikian, salah satu paradigma baru pengelolaan sampah yang diusung oleh UU 18/2008 adalah pengelolaan sampah yang berorientasi pada konversi material, yang selaras dengan arah pengembangan sistem produksi dan konsumsi berkelanjutan yang merupakan salah satu indikator Sustainable Development Goals (SDGs).
Oleh karena itu, untuk menjawab persoalan itu diperlukan suatu terobosan efektif dalam pengelolaan sampah organik. Salah satu solusi dalam pengelolaan sampah organik yaitu dengan menggunakan skema kemitraan Inti-Plasma, selain adanya pengelolaan terhadap sampah organik, dengan skema tersebut dapat terbentuk konsep circular economy.
APA SIH ITU KEMITRAAN INTI-PLASMA?
Kemitraan inti plasma merupakan sebuah bentuk kemitraan di mana sebuah perusahaan atau organisasi menjadi pusat atau inti, bekerja sama dengan beberapa kelompok mitra usaha yang berperan sebagai plasma. Dalam praktiknya, inti memberikan dukungan seperti pembinaan dan infrastruktur kepada setiap mitra plasma, sedangkan mitra plasma bertanggung jawab untuk mengembangkan hasil produksi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Nah masing-masing perannya mempunyai kewajiban, kelebihan, dan kekurangan loh, yu kita lihat perbedaannya di bawah ini!
Peran Unit Inti dan Plasma
Unit inti memiliki kewajiban untuk memberikan peralatan dan fasilitas produksi kepada unit plasma dengan biaya yang telah disepakati, sekaligus memberikan pembinaan dan pengawasan agar unit plasma mampu memenuhi standar produksi yang ditetapkan. Unit inti juga berkewajiban membeli hasil produksi unit plasma dengan harga yang sudah disepakati, serta memberikan bantuan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
Di sisi lain, unit plasma bertanggung jawab untuk memiliki lahan dan fasilitas pemeliharaan yang memadai serta sumber daya manusia yang sesuai untuk produksi. Mereka harus memproses produksi hingga menjadi barang yang dapat dijual kepada perusahaan inti. Selain itu, unit plasma wajib membayar angsuran kredit untuk peralatan dan fasilitas produksi yang disediakan oleh unit inti dan secara rutin melaporkan kondisi serta kegiatan pemeliharaan produksi kepada perusahaan inti.
Kelebihan
Salah satu keunggulan dari sistem ini adalah dukungan dan peningkatan kapasitas yang diberikan kepada petani dan peternak setempat. Unit inti dapat beroperasi tanpa memerlukan lahan yang luas, sementara unit plasma tidak perlu menginvestasikan modal besar karena peralatan disediakan melalui sistem kredit oleh unit inti. Selain itu, adanya pembagian peran yang jelas sesuai dengan keahlian masing-masing unit mendorong kerja sama yang efektif dan kolaboratif untuk meningkatkan produktivitas.
Kekurangan
Namun, di balik kelebihan tersebut, terdapat beberapa kekurangan yang perlu diperhatikan. Hubungan antara unit inti dan plasma menciptakan ketergantungan yang kuat, di mana unit plasma tidak memiliki kebebasan untuk mengadakan bibit atau menjual hasil panen secara mandiri karena terikat oleh kesepakatan dengan unit inti. Selain itu, keuntungan unit plasma dapat berkurang karena harus membayar angsuran peralatan, pakan, dan pinjaman lainnya kepada unit inti dari hasil penjualan produksi.
Secara keseluruhan, hubungan antara unit inti dan plasma menunjukkan potensi besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi lokal, namun dengan syarat kedua belah pihak mampu mengelola ketergantungan ini secara bijak untuk meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul.
Emangnya skema ini udah ada yang nerapinnya?
Eits jangan salah, yuk liat best practice penerapan skema ini!
Kemitraan Inti Plasma dalam Pengolahan Sampah Organik di Rumah Maggot dan Buruan Sae Pasir Impun
Dalam skala mikro, best practice skema kemitraan inti plasma yang dapat dicontoh adalah Rumah Maggot Pasir Impun dengan brending dirinya melalui Bursa Tumaritis dan Pesona Pasim menyediakan semua kebutuhan operasional pengelolaan sampah organik menjadi BSF dan pengolahan produk hasil BSF. Rumah Maggot Pasir Impun berlokasi di Jalan haji haji umar dalam RT 06 Rw 05, Kelurahan Pasir Impun, Kecamatan Mandalajati, Kota Bandung. Luas Rumah Maggot eksisting 110 meter persegi. Sementara itu, masyarakat lokal akan berfungsi sebagai plasma yang bertugas membudidayakan dan memanfaatkan maggot dan produk maggot hingga siap dipanen. Setelah panen, produk akan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar maupun di manfaatkan di Buruan Sae. Kemitraan ini adalah untuk mengembangkan pengelolaan sampah organik dengan sistem biokonversi yang aman, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan yaitu, pengadaan peralatan, pelatihan, pembuatan perjanjian kerja sama, asistensi, sosialisasi, FGD, dan penilaian 5 aspek persampahan di inti dan plasma. Selain itu dilakukan penilaian efektivitas kemitraan inti plasma, yang merupakan suatu kondisi yang menunjukkan tingkat pencapaian sejak awal pembentukan kemitraan inti plasma dalam budidaya BSF. Ada dua indikator untuk menilai efektivitas kemitraan pada tahap awal ini, yaitu kejelasan program dan kualitas fasilitator. Pengukuran efektivitas kemitraan ini dilakukan dengan menggunakan metode Likert, di mana indikator-indikator yang telah disusun dimasukkan ke dalam kuesioner, dan setiap item pertanyaan diberikan skor berdasarkan pilihan responden. Berdasarkan hasil rekapitulasi kuesioner, indikator kejelasan program dan kualitas fasilitator secara keseluruhan berada dalam kategori baik dengan persentase 82,65%.
Inovasi apa lagi ya kira-kira buat pengelolaan sampah organik dengan skema plasma inti?
Salah satu peluang terobosan besar yaitu dengan mengembangkan lahan kosong menjadi Pusat Olah Organik (POO). Sejumlah kabupaten/kota di Indonesia memiliki lahan kosong milik Pemerintah yang dapat direhabilitasi dan dimanfaatkan sebagai pusat pengolahan sampah, khususnya sampah organik. POO dapat dibangun sebagai basis ekonomi sirkular yang dapat memberi nilai manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Hal tersebut agar menghindari hambatan terbesar pemanfaatan lahan kosong tersebut menjadi Pusat Olah Organik (POO), yaitu rentan penolakan masyarakat akibat perubahan fungsi lahan yang telah diklaim masyarakat sebagai lahan permukiman dan kurangnya modal sosial yang dilibatkan untuk keberlanjutan sistem. POO juga dapat menjadi sentra untuk mendampingi pengelolaan Rumah Maggot bagi komunitas sekitarnya. Kehadiran Pusat Olah Organik (POO) dapat menjadi semacam pendekatan inti - plasma bagi unit-unit pengolahan sampah organik di sekitarnya. Selain pendampingan teknis, Pusat Olah Organik (POO) dapat menampung kelebihan sampah organik dari pemukiman sekitarnya, ataupun menjadi off-taker bagi produk olahan pemukiman sekitarnya.
Sampah organik merupakan potensi sampah yang dapat diolah di selain TPA sehingga timbulan sampah yang diangkut ke TPA dapat dikurangi. Strategi pengolahan sampah yaitu salah satunya dengan biokonversi sampah organik. Kegiatan ini akan menekankan pada pemilahan sampah khususnya sampah organik. Skema operasional pengelolaan sampah organik dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Grand design POO yoitu program ekonomi sirkular berbasis pengolahan biokonversi sampah organik. Sistem integrasi antara fungsi-fungsi dari sub sektor peternakan, perikanan, fasilitas BSF dan bahkan potensi agrowisata di dalam kawasan POO dengan penggunaan elemen ruang terbuka, biokonversi lingkungan serta menyediakan ruang edukasi melalui lahan perkebunan, taman, dan vertikal farming sebagai laboratorium hidup dari kawasan terpadu seperti skema yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Rencana pengembangan hasil biokonversi sampah organik dapat dimanfaatkan untuk peternakan ikan, ayam, sapi, kambing, dan taman buah, pemanfaatan teknologi perkebunan dan peternakan guna optimalisasi lahan. Gambar Pemanfaatan produk biokonversi sampah organik, dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Reformasi sistem penanganan sampah merupakan tantangan besar, sekaligus kunci untuk penyelesaian masalah sampah yang semakin mendesak di Indonesia. Penanganan sampah organik menjadi kunci terobosan perbaikan sistem pengelolaan sampah. Sampah organik merupakan komposisi sampah terbesar di Indonesia, karenanya penanganan sampah organik berpotensi mengurangi sampah yang diangkut ke TPA. Penanganan sampah organik dapat dilakukan dengan biokonversi sampah organik dengan pendekatan ekonomi sirkular. Pendekatan ekonomi sirkular dalam pengolahan sampah akan meminimalisir penolakan masyarakat karena hal ini akan mendorong ekonomi lokal yang berdampak positif pada peningkatan modal sosial. Didorong oleh keterbatasan kapasitas TPA, Indonesia dapat didorong menjadi quick win model reformasi sistem pengelolaan sampah organik, yang bisa menjadi dasar replikasi. Indonesia perlu didorong untuk optimalisasi sarana prasarana pengolahan sampah organik di dalam kota dan kabupaten yang mulai diupayakan oleh berbagai sektor terkait mulai dari TPS 3R, KBS (Kawasan Bebas Sampah), Kampung Iklim/Ecovillage, maupun Rumah Maggot. Salah satunya menggunakan pendekatan memanfaatkan banyak lahan kosong milik pemerintah untuk dimanfaatkan sebagai Pusat Olah Organik (POO). POO dapat menjadi sentra untuk mendampingi pengelolaan Rumah Maggot bagi komunitas sekitarnya. Kehadiran POO dapat menjadi semacam pendekatan inti - plasma bagi unit-unit pengolahan sampah organik di sekitarnya. Selain pendampingan teknis, POO dapat menampung kelebihan sampah organik dari pemukiman sekitarnya, ataupun menjadi off-taker bagi produk olahan pemukiman sekitarnya.
Daftar Pustaka