Mengenali Model Bisnis dari Pelaku Redistribusi Makanan Surplus di Indonesia
Sampah makanan (food waste)
merupakan salah satu sumber limbah terbesar di Indonesia. Studi dari Badan
perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan bahwa jumlah sampah
makanan di Indonesia mencapai 115–184 kg per kapita per tahun. Kondisi ini berkebalikan
dengan angka kelaparan di Indonesia. Menurut Global Hunger Index (GHI) tahun
2021, Indonesia menempati urutan ke-77 dari 121 negara dengan angka kelaparan
tertinggi, atau peringkat ke-3 di Asia Tenggara (Khairunisa et al., 2023).
Oleh karena itu, diperlukan solusi
yang dapat mencegah makanan yang masih layak dikonsumsi dibuang ke tempat
pembuangan akhir, sekaligus dapat mengatasi ketahanan pangan. Salah satu solusinya
adalah redistribusi makanan surplus (Garcia-Garcia et al., 2017). Dalam kegiatan redistribusi
makanan surplus, food bank menjadi pelaku utama. Food bank berperan
sebagai perantara antara donatur makanan surplus dan penerimanya (Dumont et al., 2021).
Food bank melakukan aktivitas
penerimaan, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi dari makanan surplus yang
didonasikan, sekaligus memberi nilai tambah pada makanan surplus yang masih bisa
dikonsumsi, serta memberi edukasi tentang pengelolaan makanan agar tidak
berakhir menjadi sampah (Dumont et al., 2021). Di Indonesia, pengelolaan makanan surplus
melalui food bank baru mulai berkembang dalam beberapa tahun terakhir (Khairunisa et al., 2023). Lalu bagaimana model bisnis
dari food bank yang ada di Indonesia agar kegiatan operasionalnya dapat
berjalan dengan lancar?
Andiwijaya, (2020) melakukan identifikasi terhadap 5 food bank yang ada di Indonesia secara kualitatif. Identifikasi yang dilakukan meliputi tipe organisasi, jangkauan area operasional, tujuan, donatur makanan surplus, target penerima manfaat, sumber pendanaan, manajemen sumber daya manusia, dan teknologi informasi yang digunakan. Selain itu juga terdapat penelitian dari Khairunisa et al., (2023) yang mengidentifikasi aktivitas food bank di Indonesia menjadi beberapa tahapan.
Tipe Organisasi
Berbeda dengan negara maju, food
bank di Indonesia bersifat independen dan dikelola oleh swasta nirlaba,
baik secara kelompok maupun per orangan. Di negara maju, food bank terafiliasi
dengan organisasi federasi yang telah berdiri sejak bertahun-tahun lamanya.
Contohnya seperti The European Food Banks Federation yang berada di bawah
naungan The Global Food Banking Network (Andiwijaya, 2020).
Di Indonesia, belum ada food bank yang menangani redistribusi makanan surplus secara nasional. Hingga saat ini, hanya ditemukan food bank yang dikelola secara independen. Food bank seperti ini tidak bekerja secara kolaborasi, maupun berada di dalam naungan organisasi lain (Andiwijaya, 2020).
Selain itu, food bank yang ada di Indonesia juga bersifat ‘hybrid’', yaitu terhubung langsung dengan donatur makanan surplus sekaligus penerima manfaat, serta melakukan aktivitas logistik secara mandiri. Sementara itu di negara maju, food bank biasanya tidak memiliki kontak langsung dengan penerima manfaat, tetapi melalui organisasi sosial. Di negara maju, hampir seluruh warga yang membutuhkan bantuan telah berada dalam tanggung jawab organisasi sosial tertentu. Sedangkan di negara berkembang, warga yang kurang mampu tersebar di berbagai sudut kota dan perkampungan kumuh (Andiwijaya, 2020).
Jangkauan Area Operasional
Organisasi food bank di
Indonesia memilih area operasionalnya berdasarkan 3 kriteria, yaitu area dengan
penduduk padat, adanya warga yang memerlukan bantuan pangan, dan ketersediaan
relawan. Area padat penduduk dipilih karena berpotensi memiliki banyak donatur
makanan surplus. Karena makanan surplus perlu untuk segera didistribusikan,
maka warga yang memerlukan bantuan pangan juga harus berada di area yang sama
dengan donatur. Selain itu, ketersediaan relawan untuk mengorganisir aktivitas
juga penting untuk dipertimbangkan. Oleh karenanya, food bank di
Indonesia banyak dijumpai di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan
Surabaya (Andiwijaya, 2020).
Tujuan
Mayoritas tujuan utama food bank yang
ada di Indonesia adalah mengurangi sampah makanan dan mengurangi kemiskinan
akibat pangan Selain itu, terdapat tujuan lain yang sifatnya pendukung seperti meningkatkan
status gizi, memberi dukungan pangan secara inklusif, serta meningkatkan awareness
terhadap isu sampah makanan (Andiwijaya, 2020).
Program utama yang dilakukan untuk
mencapai tujuan adalah mendistribusikan kembali makanan surplus ke masyarakat
yang memerlukan bantuan pangan. Selain itu, terdapat program pendukung lainnya
seperti daur ulang sampah makanan, reproses makanan surplus, pengumpulan sisa
panen, serta kampanye dan advokasi (Andiwijaya, 2020).
Aktivitas Utama
Aktivitas yang dilakukan oleh food
bank di berbagai negara cenderung bervariasi tergantung pada lokasi, jangkauan,
sumber daya, serta regulasi yang berlaku terkait keamanan pangan dan
distribusi. Di Indonesia, secara umum, food bank melakukan aktivitas
utamanya dengan melakukan lima tahapan, yaitu pengumpulan dan persiapan
makanan, penyimpanan, pengiriman, penerimaan, serta dokumentasi dan pelaporan.
· Penyimpanan
Makanan surplus
yang telah tiba di lokasi food bank perlu dicek kembali keamanan dan
kualitasnya dengan cara disortir. Makanan yang mudah rusak hanya disimpan
sementara dan didistribusikan pada waktu yang dekat/di hari yang sama saat
makanan diterima. Sementara itu, makanan yang tidak mudah rusak disimpan dengan
dihindarkan langsung dari sinar matahari dan kontak langsung dengan lantai. Saat
penyimpanan, food bank juga memisahkan makanan berdasarkan jenis program
atau jenis kegiatan distribusi yang akan dilakukan (Khairunisa et al., 2023).
· Pengiriman dan penerimaan
Pengiriman makanan
kepada penerima dilakukan dengan menggunakan kendaraan yang dimiliki oleh food
bank dan dibantu oleh relawan. Saat memindahkan makanan ke kendaraan,
makanan tidak boleh bersentuhan langsung dengan lantai dan harus menggunakan
alat seperti troli maupun pallet. Setelah itu, makanan didistribusikan
ke target penerima yang sebelumnya telah ditentukan (Khairunisa et al., 2023).
· Dokumentasi dan pelaporan
Seluruh proses, baik saat
makanan diterima oleh food bank, hingga saat makanan sampai ke penerima
manfaat, food bank wajib mendokumentasikan jumlah, jenis, dan kondisi
makanan. Food bank juga wajib melaporkan lokasi dan detail lainnya
terkait penerima manfaat (Khairunisa et al., 2023).
Donatur Makanan Surplus
Tipe donatur bisa jadi berbeda pada
setiap waktu, akan tetapi donatur dapat diidentifikasi menjadi 3 kategori
utama, yaitu industri perhotelan, industri ritel, serta individu/komunitas.
Besarnya masing-maisng proporsi dari setiap kategori sangat bergantung pada
jenis program, pengalaman, relasi, dan jaringan yang dimiliki oleh organisasi food
bank (Andiwijaya, 2020).
Target Penerima Manfaat
Di negara maju, penerima manfaat
dari food bank adalah lembaga/organissi sosial. Namun, berbeda dari
negara maju, penerima manfaat food bank yang ada di Indonesia adalah
individu/kelompok masyarakat di area perkotaan yang mengalami kerentanan pangan.
Mereka terdiri dari masyarakat miskin yang mengalami malnutrisi dan kelompok
masyarakat yang terpinggirkan. Fokus utama masyarakat yang menjadi penerima
manfaat adalah anak yatim, lansia, orang berpenyakit kronis, anak-anak
kekurangan gizi, serta penyandang disabilitas (Andiwijaya, 2020).
Food bank yang ada di Indonesia berinteraksi dengan masyarakat penerima manfaat secara langsung. Hal ini berbeda dengan food bank di negara maju yang tidak berinteraksi langsung dengan penerima manfaat. Alasan food bank di Indonesia tidak menyalurkan makanan surplus melalui organisasi sosial adalah melimpahnya bantuan yang telah diterima oleh lembaga sosial. Organisasi sosial di Indonesia pada umumnya telah menerima bantuan dari banyak sumber, sementara itu masyarakat miskin perkotaan yang belum mendapatkan bantuan sering kali terabaikan (Andiwijaya, 2020).
Sumber Pendanaan
Food bank di Indonesia
memiliki 3 opsi pendanaan utama, yaitu donasi langsung dari
perusahaan/individu, penggalangan dana secara kolektif (crowdfunding),
dan penjualan produk/jasa. Donasi secara langsung menjadi sumber pendanaan
dengan kontribusi terbesar. Pendanaan ini biasanya berasal dari anggaran dana
CSR (Corporate Social Responsibility) atau anggaran yang dikeluarkan
oleh perusahaan untuk menjlankan aktivitas kepedulian sosial dan lingkungan (Andiwijaya, 2020).
Bentuk pendanaan lain adalah
penggalangan secara kolektif/crowdfunding. Penggalangan dana dilakukan
menggunakan platform tertentu yang sekaligus memberikan kampanye sosial
dengan mengunggah aktivitas yang dilakukan sekaligus menyampaikan tujuan
pendanaan. Beberapa organisasi juga melakukan penggalangn dana dari relawan
yang mengikuti kegiatan dan juga pihak yang ingin melakukan kunjungan/wawancara
(Andiwijaya, 2020).
Sumber pendanaan lain juga bisa didapatkan dari penjualan produk dan jasa. Beberapa organisasi menjual kembali makanan surplus yang diberikan oleh donatur yang kemudian hasil penjualannya digunakan sebagai biaya operasional. Selain itu beberapa organisasi juga menjual makanan surplus yang didapatkan dari petani yang mengalami penurunan harga pascapanen (Andiwijaya, 2020).
Di luar negeri, pendanaan food
bank tidak hanya berasal dari donasi, melainkan juga dari pemerintah.
Contohnya adalah pemerintah Kanada yang sekaligus memiliki asosiasi food
bank nasional (Loopstra & Tarasuk, 2012). Pemerintah di negara maju
juga memberikan bantuan berupa infrastruktur, perangkat lunak, dan pembiayaan
untuk sumber daya manusia. Selain itu, metode donasi yang digunakan juga
bervariasi seperti menyelenggarakan lelang amal, acara makan bersama ribuan
orang, dan demonstrasi memasak (Schneider, 2013).
Manajemen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia dari organisasi
redistribusi makanan surplus sangat bergantung pada jumlah relawan. Semakin
banyak makanan surplus yang dikelola, semakin banyak kebutuhan relawan. Oleh
karena itu, banyak organisasi yang beroperasi di wilayah yang memiliki banyak
potensi relawan, seperti kota yang memiliki banyak universitas (Andiwijaya, 2020).
Manajemen relawan juga bergantung pada tingkat formalitas, atau sejauh mana organisasi memiliki sistem manajemen yang jelas dan terstruktur. Organisasi yang memiliki tingkat formalitas tinggi memiliki prosedur tersendiri dalam mengelola relawan untuk memastikan ketersediaan relawan saat menjalankan kegiatan operasional sehari-hari secara kontinu. Memastikan ketersediaan relawan juga bertujuan supaya makanan surplus bisa segera disalurkan dan tidak terbuang menjadi sampah makanan (Andiwijaya, 2020).
Teknologi Informasi
Saat ini, semua aktivitas food
bank yang ada di Indonesia masih dilakukan secara manual dengan menggunakan
teknologi informasi dasar seperti media sosial, Excel, dan situs web. Belum ada
inovasi teknologi informasi lain untuk membantu menangani aktivitas operasional
karena adanya keterbatasan sumber daya finansial dan intervensi pemerintah
sehingga banyak permasalahan lain yang menjadi prioritas untuk diselesaikan. Teknologi
informasi dasar dianggap masih bisa mndukung kegiatan operasional (Andiwijaya, 2020).
Sementara itu di negara maju, food bank telah memanfaatkan teknologi informasi untuk menentukan jadwal distribusi, menentukan titik delivery donatur dari data satelit, melakukan penjadwalan pickup dari tempat penyimpanan, penjadwalan operator, dan berbagai fungsi teknis lainnya (Davis et al., 2014; Glover et al., 2014)
Referensi
Andiwijaya, D. (2020). Surplus food redistribution in urban areas in
Indonesia : a cross-case analysis. Politecnico di Milano.
Davis, L. B., Sengul,
I., Ivy, J. S., Brock, L. G., & Miles, L. (2014). Scheduling food bank
collections and deliveries to ensure food safety and improve access. Socio-Economic
Planning Sciences, 48(3), 175–188.
https://doi.org/10.1016/j.seps.2014.04.001
Dumont, C., Butcher,
L. M., Foulkes-Taylor, F., Bird, A., & Begley, A. (2021). Effectiveness of
foodbank western australia’s food sensations® for adults food literacy program
in regional australia. International Journal of Environmental Research and
Public Health, 18(17). https://doi.org/10.3390/ijerph18178920
Garcia-Garcia, G.,
Woolley, E., Rahimifard, S., Colwill, J., White, R., & Needham, L. (2017).
A Methodology for Sustainable Management of Food Waste. Waste and Biomass
Valorization, 8(6), 2209–2227.
https://doi.org/10.1007/s12649-016-9720-0
Glover, W. J.,
Poopunsri, T., & Hurley, R. (2014). Applying lean to non-profit
organizations: A food bank case study. IIE Annual Conference and Expo 2014,
January 2014, 274–281.
Khairunisa, K.,
Setiawati, S., & Wulan, S. (2023). Food Bank Operation and Perceptions of
Recipients on Food Surplus Redistribution in North and South Jakarta. Jurnal
Penelitian Pendidikan IPA, 9(10), 8335–8340.
https://doi.org/10.29303/jppipa.v9i10.4415
Loopstra, R., &
Tarasuk, V. (2012). The relationship between food banks and household food
insecurity among low-income Toronto Families. Canadian Public Policy, 38(4),
497–514. https://doi.org/10.3138/CPP.38.4.497
Schneider, F. (2013).
The evolution of food donation with respect to waste prevention. Waste
Management, 33(3), 755–763.
https://doi.org/10.1016/j.wasman.2012.10.025