Pembakaran Sampah: Sebuah Budaya yang Menjelma Menjadi Ancaman
Dewasa ini, pengelolaan sampah menjadi semakin mudah seiring perkembangan teknologi. Masyarakat juga semakin sadar terhadap lingkungan untuk menjaga dan merawatnya dengan mencari berbagai solusi dalam mengelola sampah yang lebih baik. Akan tetapi, metode membakar sampah masih menjadi primadona bagi masyarakat untuk menyingkirkan sampah dari pandangan walaupun harus menanggung risiko timbulnya asap beserta baunya yang akan melekat sepanjang hari. Jika kita pikirkan baik-baik, pembakaran sampah ini telah menjadi sebuah budaya. Hampir di berbagai belahan dunia ada saja orang yang membakar sampah. Kegiatannya pun dilakukan secara rutin di tempat-tempat tertentu dengan jenis sampah tertentu yang dibakarnya. Cara ini dinilai sangat praktis karena tidak membutuhkan waktu yang lama.
Bukan tidak mungkin kegiatan membakar sampah sudah dilakukan jauh sejak masa lampau, mengingat api itu sendiri sudah ada sejak awal peradaban manusia sebagai alat yang sangat membantu keberlangsungan hidup. Kegiatan membakar sampah memiliki pola tersendiri dan bahkan sama di seluruh penjuru dunia. Di pedesaan, kegiatan ini akan lebih sering ditemukan dibandingkan dengan di perkotaan. Biasanya, kegiatan ini dilakukan pada sore hari setelah sampah-sampah yang dihasilkan selama seharian menumpuk. Sampah yang dibakar lazimnya berbahan yang mudah terbakar pula, seperti kertas, plastik, sisa makanan, dan dedaunan kering. Hanya dengan bermodalkan api dan tong pembakaran, dalam sekejap sampah-sampah tersebut lenyap dari pandangan. Cara yang praktis, bukan?
Sumber: pexels.com/@fotios-photos/
Salah satu alasan mengapa membakar sampah menjadi pilihan utama adalah kurangnya kesadaran lingkungan. Masyarakat tidak begitu peduli dengan dampak kecil, yang bagi mereka hanya berupa asap. Selagi dengan membakar dan volume sampah menurun, kegiatan tersebut akan terus dilakukan dan menjadi pilihan utama. Dahulu, dampak yang timbul mungkin tidak akan begitu terasa karena lingkungan asri masih memadai. Namun, jika dibandingkan dengan masa kini, yaitu pembangunan infrastruktur yang besar-besaran yang berakibat pada berkurangnya lahan terbuka hijau, dampak tersebut akan terlihat sangat nyata dan berubah menjadi ancaman bagi siapapun yang menghadapinya. Benarkah? Pada dasarnya, membakar sampah tidak menghilangkan sampah itu sendiri, loh. Membakar sampah justru menimbulkan masalah baru berupa polusi udara. Bahkan, tidak hanya udara. Tanah dan air pun turut terkena dampaknya yang kemudian memengaruhi makhluk hidup, terutama manusia.
Kalian resah, enggak, sih, sama asap pembakaran sampah? Berangkat kerja atau sekolah bisa hirup udara segar, tapi pulangnya dalam kondisi capek dan bad mood malah harus menghadapi asap yang bau dan bikin mata perih. Asap yang dihasilkan dari pembakaran sampah mengandung zat-zat beracun yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung hingga paru-paru. Asap sendiri meninggalkan residu yang secara tidak langsung memberikan ancaman pada sekitar. Zat berbahaya dioksin misalnya dapat mengendap di tanaman hingga saluran air lalu masuk ke dalam makanan yang kemudian memengaruhi kesehatan tubuh.
Sumber: pexels.com/@victormoragriega
Bayangkan jika anak-anak dan lansia sebagai yang paling rentan harus menghadapi masalah ini. Jejak-jejak asap akan terus ada dan menjadi racun bagi lingkungan sekitar akibat membakar sampah yang umumnya dilakukan di pekarangan rumah. Alergi, asma, bronkitis hingga kanker perlahan mengintai tanpa peringatan jika kita tidak segera sadar akan bahaya pembakaran sampah. Serem banget, enggak, sih? Dilansir dari Llyod’s Register Foundation, sebuah badan amal keselamatan global, pembakaran sampah merupakan metode pembuangan sampah paling umum ketiga di dunia dengan 14% rumah tangga di seluruh dunia melakukannya. Indonesia sendiri tercatat 48% rumah tangga di Indonesia terlibat dalam pembakaran sampah. Hal ini merupakan angka yang cukup tinggi dan menjadi ancaman yang serius yang perlu segera dibenahi. Permasalahan ini dapat diatasi secara perlahan dimulai dari diri sendiri kemudian turut membantu mengedukasi masyarakat akan pentingnya kesadaran terhadap lingkungan. Dampaknya mungkin tidak terlihat saat ini, tetapi nanti yang tidak dapat diprediksi yang sewaktu-waktu dapat muncul. Di samping itu, peran pemerintah juga tak bisa diabaikan karena pembakaran sampah memiliki aturannya sendiri dalam undang-undang dan pemerintah perlu lebih tegas terhadap hal tersebut di samping mencari solusi atas permasalahan ini. Penemuan teknologi pembakaran sampah yang ramah lingkungan memang sudah ada saat ini, tetapi akan butuh waktu yang lama dan biaya yang besar untuk dapat diterapkan ke seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, kesadaran individu untuk mengolah sampah sendiri yang ramah lingkungan masih menjadi solusi mudah untuk digiatkan.
Jadi, buat kalian yang mau buang hadiah dari mantan, jangan dibakar, ya. Mending disumbangkan atau dijual lagi aja biar dapat untung!
Referensi
Citarum Harum Juara. (n.d.). Hal-Hal yang Perlu Dipertimbangkan Soal Bakar Sampah. Citarum Harum Juara. https://citarumharum.jabarprov.go.id/hal-hal-yang-perlu-dipertimbangkan-soal-bakar-sampah/
Llyad's Register Foundation. (2024, September 17). Open burning of waste a critical issue in Indonesia, according to global report. lrfoundation. https://www.lrfoundation.org.uk/news/open-burning-of-waste-a-critical-issue-in-indonesia-according-to-global-report
U.S. Environmental Protection Agency. (2016, March 30). Backyard Burning. U.S. EPA. https://archive.epa.gov/epawaste/nonhaz/municipal/web/html/index-3.html