Hierarki Food Waste: Urutan Solusi Penanganan Sampah Makanan

Yazid Taufiqurrahman | 20 Mar 2025 Viewers : 81

Sampah makanan (food waste) menjadi isu penting, baik di tingkat global maupun lokal. Sampah makanan dapat menghasilkan gas rumah kaca seperti kabon dioksida dan metana apabila dibuang di pembuangan akhir (Papargyropoulou et al., 2014). Sampah makanan juga berkontribusi pada 8–10% dari total emisi gas rumah kaca dunia setiap tahunnya. Jumlah ini hampir 5 kali lipat dari emisi sektor penerbangan (UNFCCC, 2024). 

Selain itu, dari segi dimensi sosial dan moral, permasalahan sampah makanan juga menimbulkan kesenjangan antara kelangkaan dan pemborosan makanan (Papargyropoulou et al., 2014). Pada tahun 2022, sebanyak 1,05 miliar ton makanan terbuang. Di sisi lain, 783 juta orang mengalami kelaparan dan sepertiga populasi dunia menghadapi kerentanan pangan (UNFCCC, 2024).

UNEP juga mencatat bahwa 19% makanan yang tersedia bagi konsumen telah terbuang di tingkat ritel, jasa perhotelan dan penyajian makanan, serta rumah tangga. Selain itu, masih ada 13% lagi makanan yang hilang selama berada di dalam proses rantai pasok (UNFCCC, 2024). Oleh karena itu, diperlukan upaya penanganan dan pengurangan sampah makanan dari setiap lini rantai pasok.

Namun, tidak semua opsi penanganan sampah makanan memiliki dampak yang berkelanjutan bagi lingkungan. Seperti yang telah dicatat oleh Wei et al. (2024), opsi seperti mengompos dan mengonversi sampah makanan menjadi bahan makanan baru tidak selalu menunjukkan hasil yang baik bagi lingkungan. Maka dari itu, diperlukan sebuah kerangka (framework) yang menjelaskan opsi aktivitas mana yang paling cocok untuk dilakukan supaya penanganan sampah makanan menjadi lebih berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan membentuk hierarki manajemen sampah makanan. 

Tentang Hierarki Manajemen Sampah Makanan
Hierarki manajemen sampah makanan adalah kerangka yang menjadi panduan untuk memprioritaskan opsi yang paling tepat dalam mengatasi permasalahan sampah makanan. Prioritas utama diberikan kepada solusi yang memberikan hasil terbaik dari tiga dimensi keberlanjutan, yaitu lingkungan, sosial, dan ekonomi (Papargyropoulou et al., 2014).

Papargyropoulou et al. (2014) mengusulkan hierarki berdasarkan hasil studi Grounded Theory, yaitu studi kualitatif untuk mengembangkan sebuah teori baru. Studi ini dilakukan dengan mewawancarai 23 spesialis manajemen sampah makanan. Hasilnya, pencegahan (prevention) dengan meminimalisasi surplus dan sampah pangan yang dapat dihindari (avoidable food waste) menjadi opsi yang paling prioritas untuk dilakukan. Opsi kedua yang disarankan adalah penggunaan ulang (reuse) melalui redistribusi makanan, lalu diikuti dengan solusi daur ulang (recycle) dengan mengonversi sampah makanan menjadi pakan hewan. Ilustrasi selengkapnya terdapat pada Gambar 1.

Gambar 1. Hierarki manajemen sampah makanan menurut Papargyropoulou et al. (2014)

Pengembangan berikutnya dilakukan oleh Garcia-Garcia et al. (2017). Perbedaannya, Garcia-Garcia et al. (2017) tidak hanya mengurutkan berdasarkan kategori, melainkan juga berdasarkan subkategorinya. Sebagai contoh, kategori guna ulang terbagi menjadi 2 subkategori, dengan urutan pertama adalah redistribusi, kemudian diikuti pakan hewan pada urutan berikutnya. 

Pengembangan dari model Garcia-Garcia et al. (2017) diusulkan oleh Wei et al. (2024). Wei et al. (2024) menambahkan 1 subkategori tambahan pada kategori guna ulang, yaitu pemrosesan ulang. Subkategori ini berada di urutan setelah redistribusi dan sebelum pakan hewan. Ilustrasi selengkapnya terdapat pada Gambar 2. 

A diagram of a chart

AI-generated content may be incorrect.

Gambar 2. Hierarki manajemen sampah makanan menurut Garcia-Garcia et al. (2017) yang dimodifikasi ulang oleh Wei et al. (2024)

Penjelasan dari masing-masing subkategori terdapat pada uraian berikut ini.

  • Reduksi/pencegahan (prevention of food waste generation)
    Opsi ini merupakan langkah terbaik dengan mencegah timbulnya sampah makanan pada setiap lini rantai pasok. Dari sisi produksi, sampah makanan bisa dicegah melalui perbaikan sistem penyimpanan sehingga makanan tidak lagi menjadi rentan untuk segera didistribusikan (Bajželj et al., 2020). Dari sisi konsumsi, potensi sampah makanan dapat dikurangi melalui penggantian jenis piring dan perubahan pedoman nutrisi (Reynolds et al., 2019).
  • Redistribusi (redistribution for human consumption)
    Redistribusi merupakan langkah untuk memanfaatkan surplus makanan dengan memberikannya kepada orang yang membutuhkan. Biasanya proses ini membutuhkan bantuan pihak ke-3, yaitu food bank atau lembaga amal lainnya. Makanan harus dipastikan keamanannya dan kelayakannya untuk dikonsumsi (Garcia-Garcia et al., 2017).
  • Pengolahan ulang (conversion into human food/food processing)
    Pengolahan ulang merupakan salah satu solusi pada bagian guna ulang yang sering dilewatkan dalam hierarki. Pengembangan teknologi saat ini memungkinkan untuk memunculkan alternatif baru berupa pemrosesan sampah makanan lebih lanjut, salah satunya dengan ekstraksi senyawa, supaya dapat digunakan dalam produksi makanan baru yang siap dikonsumsi (FW-to-food) (Wei et al., 2024).
  • Pakan hewan (animal feed)
    Langkah ini merupakan alternatif untuk mendaur ulang sampah makanan yang tidak sesuai untuk konsumsi manusia, tetapi masih sesuai untuk konsumsi hewan. Pengolahan khusus sering kali diperlukan sebelum digunakan sebagai pakan. Namun, tidak semua sampah makanan dapat diolah menjadi pakan. Di Eropa, sampah makanan yang akan diolah tidak boleh mengandung produk hewani (Garcia-Garcia et al., 2017).
  • Ekstraksi senyawa bernilai (extraction of compounds of interest)
    Opsi ini memberikan alternatif dengan mengekstraksi senyawa metabolit sekunder dari sampah makanan yang berasal dari buah-buahan, sayuran, dan serealia. Hasil ekstraksi dapat dimanfaatkan pada produk nutraseutikal, seperti suplemen, yang berguna bagi pengurangan risiko penyakit tertentu (Kumar et al., 2017).
  • Keperluan industri (industrial uses)
    Opsi ini memberikan alternatif pada sampah makanan supaya digunakan dalam keperluan industri seperti produksi energi melalui bio-hidrogen dan bio-metana, serta bahan baku material bio-polimer yang dapat dimanfaatkan sebagai plastik (Girotto et al., 2015).
  • Pencernaan anaerobik (anaerobic digestion)
    Pada proses ini, sampah makanan diolah oleh mikroba anaerobik. Mikroba anaerobik berperan mengubah berbagai jenis biomassa dan unsur organik menjadi biogas dan meninggalkan residu kaya nutrisi yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk (Xu et al., 2018). Pencernaan anaerobik dapat digunakan untuk semua jenis limbah makanan, kecuali bagi makanan yang tidak bisa dipisahkan dari kemasannya. Opsi ini memerlukan pemrosesan lebih lanjut, seperti pasteurisasi, pada kategori sampah makanan yang berasal dari hewan (Garcia-Garcia et al., 2017).
  • Pengomposan (composting)
    Proses pengomposan merupakan proses penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan mikroorganisme aerobik. Produk hasil pengomposan dapat digunakan untuk memperbaiki struktur tanah (Saer et al., 2013). Jenis material yang bisa dikompos adalah semua jenis limbah makanan, kecuali bagi makanan yang tidak bisa dipisahkan dari kemasannya. Akan tetapi, jika sampah makanan mengandung bahan dari hewan, pengomposan harus dilakukan di dalam wadah tertutup (in-vessel composting) supaya tidak menarik hama (Garcia-Garcia et al., 2017).
  • Pengolahan termal (thermal treatment with energy recovery)
    Pengolahan termal dengan pemulihan energi seperti pirolisis dan gasifikasi, merupakan satu-satunya alternatif yang tersedia untuk menangani makanan yang yang tidak dapat dipisahkan dari kemasannya. Opsi ini juga merupakan opsi terbaik untuk menangani produk sampingan hewan. Namun opsi ini perlu diminimalisir karena sampah makanan memiliki kadar air tinggi sehingga pengolahannya memerlukan energi yang besar (Garcia-Garcia et al., 2017).
  • Penyebaran di lahan pertanian (land spreading)
    Teknik ini digunakan oleh para petani secara tradisional dengan menyebarkan sampah organik yang umumnya berwujud padat ke lahan pertanian. Langkah ini dilakukan untuk memperbaiki/memperkaya nutrisi yang ada di tanah. Namun langkah ini berbahaya karena sampah organik yang disebar berpotensi mengandung residu pestisida dan patogen (Doula et al., 2016).
  • Insinerasi/pembakaran (incineration)
    Insinerasi merupakan proses pembakaran yang bertujuan untuk mengurangi volume sampah makanan secara signifikan. Metode ini efektif dalam mengurangi jumlah sampah dan menghasilkan energi dari panasnya pembakaran. Namun, opsi ini menimbulkan kekhawatiran karena terdapat emisi berupa zat karsinogenik yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Selain itu, biaya operasional yang dibutuhkan juga tinggi (A. Shukla et al., 2024).
  • Pembuangan ke tempat pembuangan akhir/TPA (land-filling)
    Opsi pembuangan sampah di TPA memiliki dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial yang sangat buruk (Garcia-Garcia et al., 2017). Dalam TPA tradisional, sampah makanan yang tertimbun dapat menghasilkan lindi dan gas metana yang keluar secara terus menerus sepanjang dekade. Meskipun terdapat lapisan di dasar dan dinding penghalang, keduanya dapat rusak seiring berjalannya waktu. TPA juga rawan penuh dan mengganggu kehidupan warga yang tinggal di area sekitarnya (Behera et al., 2010).

Apakah hierarki ini relevan untuk seluruh sektor?
Parsa et al. (2023) menemukan bahwa hierarki sampah makanan yang berlaku saat ini tidak cukup untuk mencapai tujuan lingkungan yang berkelanjutan. Hal ini didasari oleh beberapa alasan, yaitu hierarki yang berlaku saat ini tidak mempertimbangkan dampak terhadap energi dan air, tidak mempertimbangkan dinamika yang berbeda di setiap sektor rantai pasok, serta tidak menunjukkan seberapa besar suatu opsi dapat dikatakan lebih baik dibandingkan dengan opsi lainnya. Oleh karena itu, Parsa et al. (2023) mengembangkan model simulasi untuk menguji hierarki yang berlaku saat ini.  

Parsa et al. (2023) membuat model yang merepresentasikan dinamika sampah makanan di perkotaan dan dampaknya terhadap jejak energi (energy footprint), jejak air (water footprint), dan jejak karbon (carbon footprint). Model tersebut digunakan untuk menguji 7 opsi solusi yang ditawarkan oleh hierarki, yaitu reduksi, redistribusi, pakan hewan, pencernaan anaerobik, pengomposan, insinerasi, dan pembuangan ke TPA. Masing-masing solusi dievaluasi pada 5 sektor yang berbeda, yaitu produksi primer (pertanian, perkebunan, dll), manufaktur, retail, perhotelan dan penyajian makanan, serta rumah tangga. Tidak hanya itu, penelitian ini juga mempertimbangkan skenario lain seperti perubahan kebijakan lokal dan nasional yang relevan dengan pengelolaan sampah makanan.

Hasilnya, terdapat sedikit perbedaan prioritas pada setiap sektor dan setiap parameter dampak. Namun secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa opsi reduksi akan lebih optimal apabila diterapkan di hilir rantai pasok (downstream), yang meliputi retail, jasa perhotelan dan penyajian makanan, serta rumah tangga. Sementara itu pada hulu rantai pasok (upstream), yang meliputi produksi primer dan manufaktur, opsi redistribusi lebih optimal karena dapat mengurangi pembelian di tingkat rumah tangga. Pengurangan volume pembelian ini dapat menyebabkan penyusutan pada seluruh rantai pasok termasuk ritel. Sedangkan opsi reduksi hanya berdampak pada produksi primer dan manufaktur saja tanpa memengaruhi ritel. Ilustrasi lengkap terdapat pada Gambar 3.

Gambar 3. Hierarki manajemen sampah makanan yang telah dioptimalkan berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan oleh Parsa et al. (2023)

Parsa et al. (2023) juga berkesimpulan bahwa opsi berikutnya, selain reduksi dan redistribusi, cenderung tidak dapat ditentukan karena adanya trade-off antar parameter dampak. Hal ini juga dapat dibuktikan dari nilai penghematan untuk masing-masing parameter dampak. Nilai penghematan untuk opsi lainnya terlampau cukup jauh dibandingkan opsi reduksi dan redistribusi. Besarnya nilai penghematan ini ditampilkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Jumlah energi, air, dan karbon yang dapat dihemat apabila mengurangi 1 ton sampah makanan berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan oleh Parsa et al. (2023)

Berdasarkan nilai penghematan ini, terlihat juga bahwa terdapat perbedaan signifikan antar sektor dalam rantai pasok. Dalam jejak energi, misalnya, opsi mereduksi 1 ton sampah makanan dapat menghemat energi sebesar 0,36 MWh pada produksi primer dan 7,49 MWh pada sektor perhotelan dan penyajian makanan. Perbedaan ini menunjukkan bahwa pendekatan satu solusi untuk semua (one-size-fits-all) tidak cocok untuk diterapkan dalam menentukan kebijakan manajemen sampah makanan di setiap lini sektor rantai pasok. 


Referensi
A. Shukla, K., Bin Abu Sofian, A. D. A., Singh, A., Chen, W. H., Show, P. L., & Chan, Y. J. (2024). Food waste management and sustainable waste to energy: Current efforts, anaerobic digestion, incinerator and hydrothermal carbonization with a focus in Malaysia. Journal of Cleaner Production, 448(April), 1–9. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2024.141457

Bajželj, B., Quested, T. E., Röös, E., & Swannell, R. P. J. (2020). The role of reducing food waste for resilient food systems. Ecosystem Services, 45(April 2019), 101140. https://doi.org/10.1016/j.ecoser.2020.101140

Behera, S. K., Park, J. M., Kim, K. H., & Park, H. S. (2010). Methane production from food waste leachate in laboratory-scale simulated landfill. Waste Management, 30(8–9), 1502–1508. https://doi.org/10.1016/j.wasman.2010.02.028

Doula, M. K., Sarris, A., Hliaoutakis, A., Kydonakis, A., Papadopoulos, N. S., & Argyriou, L. (2016). Building a strategy for soil protection at local and regional scale—the case of agricultural wastes landspreading. Environmental Monitoring and Assessment, 188(3), 1–14. https://doi.org/10.1007/s10661-016-5139-0

Garcia-Garcia, G., Woolley, E., Rahimifard, S., Colwill, J., White, R., & Needham, L. (2017). A Methodology for Sustainable Management of Food Waste. Waste and Biomass Valorization, 8(6), 2209–2227. https://doi.org/10.1007/s12649-016-9720-0

Girotto, F., Alibardi, L., & Cossu, R. (2015). Food waste generation and industrial uses: A review. Waste Management, 45, 32–41. https://doi.org/10.1016/j.wasman.2015.06.008

Kumar, K., Yadav, A. N., Kumar, V., Vyas, P., & Dhaliwal, H. S. (2017). Food waste: a potential bioresource for extraction of nutraceuticals and bioactive compounds. Bioresources and Bioprocessing, 4(1). https://doi.org/10.1186/s40643-017-0148-6

Papargyropoulou, E., Lozano, R., K. Steinberger, J., Wright, N., & Ujang, Z. Bin. (2014). The food waste hierarchy as a framework for the management of food surplus and food waste. Journal of Cleaner Production, 76, 106–115. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2014.04.020

Parsa, A., Van De Wiel, M., Schmutz, U., Fried, J., Black, D., & Roderick, I. (2023). Challenging the food waste hierarchy. Journal of Environmental Management, 344(July), 118554. https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2023.118554

Reynolds, C., Goucher, L., Quested, T., Bromley, S., Gillick, S., Wells, V. K., Evans, D., Koh, L., Carlsson Kanyama, A., Katzeff, C., Svenfelt, Å., & Jackson, P. (2019). Review: Consumption-stage food waste reduction interventions – What works and how to design better interventions. Food Policy, 83(April 2018), 7–27. https://doi.org/10.1016/j.foodpol.2019.01.009

Saer, A., Lansing, S., Davitt, N. H., & Graves, R. E. (2013). Life cycle assessment of a food waste composting system: Environmental impact hotspots. Journal of Cleaner Production, 52, 234–244. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2013.03.022

UNFCCC. (2024). Food loss and waste account for 8-10 % of annual global greenhouse gas emissions ; cost USD 1 trillion annually. https://unfccc.int/news/food-loss-and-waste-account-for-8-10-of-annual-global-greenhouse-gas-emissions-cost-usd-1-trillion

Wei, Y., Rodriguez-Illera, M., Guo, X., Vollebregt, M., Li, X., Rijnaarts, H. H. M., & Chen, W. S. (2024). The complexities of decision-making in food waste valorization: A critical review. Journal of Environmental Management, 359(March). https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2024.120989

Xu, F., Li, Y., Ge, X., Yang, L., & Li, Y. (2018). Anaerobic digestion of food waste – Challenges and opportunities. Bioresource Technology, 247(September), 1047–1058. https://doi.org/10.1016/j.biortech.2017.09.020


Judul Informasi : Hierarki Food Waste: Urutan Solusi Penanganan Sampah Makanan
Kategori : Blog
Fokus Isu : Sampah Organik
Viewers : 81
Materi terkait
Blog
Yazid Taufiqurrahman | 20 Mar 2025
Mengenali Model Bisnis dari Pelaku ...
Blog
Admin BSID | 20 Mar 2025
Pembakaran Sampah: Sebuah Budaya ya ...
Blog
Aisyah Najma Agrina | 20 Mar 2025
Menyadari Pentingnya Pemilahan Samp ...
Blog
Muhammad Aflah Gandadewata | 20 Mar 2025
E-waste: Gunung Emas di Balik Tumpu ...
;