WRAP-ART THERAPY SEBAGAI STRATEGI COPING STRESS DENGAN MEMANFAATKAN SAMPAH BUBBLE WRAP
Pandemi
COVID-19 telah memasuki tahun keduanya di Indonesia, sejak itulah banyak
kegiatan yang dialihkan menjadi daring. Demi memutus rantai penyebaran virus
corona, kegiatan berkerumun harus dikurangi semaksimal mungkin. Hal itulah yang
terjadi pula pada kegiatan transaksi dalam berbelanja, kita beralih dari
belanja secara konvensional menjadi online. Ekhel Chandra Wijaya selaku External
Communications Senior Lead di Tokopedia mencatat bahwa pada triwulan III,
tingkat penjualan pada kategori makanan dan minuman meningkat hampir tiga kali
lipat dari biasanya, sementara pada kategori rumah tangga juga meningkat dua
kali lipat (Huda, 2020). Dilansir dari Merdeka.com, nilai transaksi e-commerce
pada kuartal I dan II 2021 meningkat 63,36 persen menjadi Rp186,75 triliun.
Bahkan transaksi belanja online digambarkan meningkat 48,4 persen
mencapai Rp395 triliun untuk keseluruhan 2021 (Situmorang, 2021).
Ternyata, meningkatnya
aktivitas belanja online menyebabkan masalah lain yang tak kalah
penting, yaitu meningkatnya jumlah sampah bubble wrap bekas pengemasan
produk. Dilansir dari Kompas.com, selama pandemi COVID-19 sampah plastik
khususnya bubble wrap mendominasi sungai sebanyak 6.300 ton pada periode
1 sampai 15 Maret 2020 lalu meningkat menjadi 9.300 ton pada periode 10 April
sampai 4 Juni 2020 (Nursastri, 2020). Tentu jumlah ini akan semakin meningkat
seiring peningkatan intensitas berbelanja online.
Selain permasalahan
lingkungan, pandemi juga menyebabkan peningkatan stres selama di rumah. Baik
urusan pendidikan maupun pekerjaan, semua dilakukan secara WFH (work from
home), kita menjadi terbatas untuk berinteraksi dengan orang lain serta
sekedar jalan-jalan menghilangkan penat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Husky et al (2020) menunjukkan bahwa dari 291 sampel mahasiswa yang diambil,
60,2% di antaranya mengalami peningkatan kecemasan sejak awal pandemi, 61,6%
sampel mengalami stres sedang hingga berat, dan 26,8% mengalami stres karena
masalah finansial. Penelitian lain yang dilakukan oleh Cao et al (2020)
menghasilkan kesimpulan bahwa dari 7.143 sampel yang dipilih, 24,9% di
antaranya pernah mengalami kecemasan ringan hingga berat selama masa pandemi.
Berdasarkan dua
permasalahan di atas, penulis ingin turut berkontribusi serta mengajak
masyarakat untuk dapat memanfaatkan sampah bubble wrap di rumahnya untuk
mengurangi stres selama pandemi. Penulis menyebutnya sebagai Wrap-Art
Therapy, yaitu terapi mandiri psikologis berbasis seni dengan menggunakan bubble
wrap sebagai medianya.
Caranya cukup
sederhana, kita hanya perlu menyiapkan sampah bubble wrap bening, cat
minyak, kuas, dan alat pendukung lainnya. Kita dapat melukis apapun sekreatif
kita. Melukis sebagai terapi psikologi sudah diterapkan sejak lama, art
therapy (terapi seni) digunakan sebagai media untuk menuangkan emosi,
kepribadian, dan aspek-aspek psikologis lain yang ada pada konseli. Terapi seni
yang umumnya digunakan yaitu melukis menggunakan media kanvas maupun kertas,
serta beberapa media kreatif lain seperti pasir dan tanah liat. Namun kita juga
dapat melakukan terapi mandiri dengan media bubble wrap sebagai strategi
coping stress, coping stress sendiri ialah proses pemulihan
kembali dari stres yang dialami sebelumnya berupa perasaan tertekan dan tidak
nyaman (Hawari, dalam Andriyani, 2014).
Sebelum memulai
kegiatan melukis, ada baiknya kita mengidentifikasi terlebih dahulu emosi yang
kita rasakan, entah itu sedih, marah, kecewa, kesal, dan emosi negatif lainnya.
Identifikasi dilakukan dengan menggunakan emoticon di smartphone
masing-masing. Identifikasi dilakukan untuk mengetahui lebih jelas perbedaan
sebelum dan sesudah melukis di bubble wrap. Setelah selesai melukis,
jangan lupa untuk mengidentifikasi kembali perasaan kita. Untuk lebih jelasnya,
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 1. Contoh Identifikasi Emosi dengan
Emoticon
Tentu saja
metode Wrap-Art Therapy tidak akan berjalan maksimal jika tidak
diluaskan lebih lanjut, oleh karena itu penulis sudah menyiapkan beberapa cara
untuk memperkenalkan metode tersebut ke khalayak umum. Pertama, membuat konten-konten
melukis di atas bubble wrap dan mengunggahnya ke Youtube, Instagram, dan
Facebook. Kedua, turut mengajak influencer untuk melakukan Wrap-Art
Therapy. Hal tersebut dilakukan guna membangun minat masyarakat, terutama
yang sedang mengalami penurunan kondisi psikologis selama di rumah saja.
Ketiga, bekerja sama dengan biro konseling psikologis untuk turut menggunakan Wrap-Art
Therapy sesuai kebutuhan klien.
Wrap-Art
Therapy berusaha untuk mengatasi dua
masalah yang timbul di masa pandemi sekaligus. Ibarat pepatah, sekali mendayung
dua tiga pulau terlampaui. Sekali kita melukis di atas bubble wrap, kita
sudah berusaha mencintai diri sendiri dengan melakukan kegiatan yang bersifat healing
serta berkontribusi mengurangi sampah plastik yang sampai saat ini tidak pernah
terselesaikan. Mulai sekarang, jangan langsung membuang sampah bubble wrap
bekas belanja online ya!
Daftar Pustaka
Andriyani, J. (2014). COPING STRESS
PADA WANITA KARIER YANG BERKELUARGA. Al-Bayan, 21(30), 1-10.
Nursastri, S.
A., 2020, Kompas.com, 'Studi: Jumlah Sampah Plastik Meningkat Sepanjang WFH dan
PSBB'. diakses melalui
https://www.kompas.com/sains/read/2020/05/28/170200123/studi--jumlah-sampah-plastik-meningkat-sepanjang-wfh-dan-psbb
Martono, 2014, 'PEMBELAJARAN SENI LUKIS ANAK
BERDASARKAN PENGALAMAN LOMBA', Cakrawala
Pendidikan(1), hh. 92-102.
Putra, H. P., & Yuriandala, Y., 2010, 'Studi Pemanfaatan Sampah Plastik Menjadi Produk dan
Jasa Kreatif', Jurnal Sains dan Teknologi
Lingkungan, 2(1), hh. 21-31.
Septiani, B. A., Arianie, D. M.,
Risman, V. F., Handayani, W., & Kawuryan, I. S., 2019, 'Pengelolaan Sampah Plastik di
Salatiga: Praktik dan Tantangan', JURNAL ILMU
LINGKUNGAN, 17(1), hh. 90-99.