Mengenal Konsep Zero Waste City yang Masih Menjadi Tantangan
Pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang pesat, serta gaya hidup konsumtif telah menyebabkan tingginya sumber daya yang dikonsumsi (Song et al., 2015). Dalam 50 tahun terakhir, material yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia meningkat sebanyak 3 kali lipat, dengan peningkatan rata-rata mencapai 2,3 persen per tahun. Diperkirakan, hingga tahun 2060, penggunaan sumber daya masih akan terus meningkat hingga sebesar 60%. Peningkatan penggunaan sumber daya ini menjadi pemicu utama terjadinya tiga krisis planet (triple planetary crisis) yang terdiri dari perubahan iklim (climate change), polusi (pollution), dan kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversity loss) (United Nations Environment Programme, 2024a).
Di sisi lain, jumlah sampah yang dihasilkan dari aktivitas konsumsi manusia juga terus meningkat. Jumlah sampah yang dihasilkan per tahun diperkirakan meningkat sebanyak 56%, yaitu dari 2,1 miliar ton menjadi 3,8 miliar ton dalam kurun waktu tahun 2020 hingga 2050. Pada tahun 2020, 38% sampah yang dihasilkan, atau sekitar 810 juta ton, masih bersifat tidak terkontrol, yang artinya sampah masih dibuang langsung ke lingkungan atau dibakar secara terbuka. Apabila tidak ada perubahan dari sistem manajemen sampah, maka jumlah sampah yang tidak terkontrol akan meningkat 2 kali lipat menjadi 1,6 miliar ton pada tahun 2050 (United Nations Environment Programme, 2024b).
Meskipun berbagai skenario pengurangan sampah telah dilakukan, studi tetap menunjukkan bahwa puncak produksi sampah global akan tetap terjadi setelah tahun 2075 (A. Zaman, 2022). Hal ini mencerminkan adanya ketidakefisienan pada sistem produksi dan konsumsi modern karena setiap limbah yang dihasilkan, pasti memerlukan energi, air, dan biaya tambahan untuk penanganannya (Song et al., 2015).
Selain itu, hal yang mengkhawatirkan dari sistem konsumsi modern adalah pola konsumsi linear. Konsumsi modern cenderung menekankan pada penggunaan sekali pakai. Apabila fungsionalitas barang telah habis, maka sisa/bahkan barang tersebut akan dibuang. Pola ini mengakibatkan tingginya produksi sampah yang mebebani lingkungan. Oleh karena itu, diperkenalkan konsep “zero waste” yang salah satu bentuk implementasinya adalah penerapan ekonomi sirkular.
Perbedaan konsumsi linear dan sirkular (Song et al., 2015)
Istilah “zero waste” pertama kali digunakan oleh Dr. Paul Palmer pada tahun 1973. Pada sistem “zero waste”, material digunakan secara sirkular, yang artinya suatu material/barang digunakan secara terus menerus hingga level konsumsi tertentu sehingga tidak ada material yang terbuang begitu saja. Pada akhir daur hidupnya, sebuah produk akan dipakai ulang (reused), diperbaiki (repaired), dijual (sold), atau didistribusikan ulang (redistributed) di dalam sistem. Apabila reuse dan repair tidak mungkin dilakukan, maka material dapat didaur ulang (recycled) atau dikembalikan (recovered) dari waste menjadi input baru yang diperlakukan sebagai resource sehingga dapat menyubstitusi kebutuhan akan ekstraksi sumber daya alam (Song et al., 2015).
Di masa depan, zero waste diimplementasikan secara menyeluruh dan terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari. Konsep yang umum ditawarkan adalah konsep “zero waste city”, yaitu menyatukan konsep zero waste dengan desain kota yang mengikuti prinsip keberlanjutan. Pada zero waste city, penyesuaian (retrofitting) dilakukan untuk seluruh aspek yang berada pada kehidupan perkotaan, termasuk komunitas, infrastruktur, pemanfaatan limbah, dan desentralisasi pengelolaan energi (A. U. Zaman & Lehmann, 2011).
Supaya konsep zero waste city dapat tercapai, diperlukan transformasi pada beberapa aspek. Lee et al. (2020) menyebut transformasi ini sebagai transformasi “carbon transition” yang terdiri dari beberapa pilar, yaitu transformasi dari bahan bakar fosil menjadi sumber energi yang terbarukan, transformasi konsumsi dari linear menjadi sirkular, serta transformasi ketergantungan energi menjadi produksi energi secara mandiri.
3 pilar “carbon transition” untuk menuju “zero waste cities”
Transformasi harus diterapkan sesuai dengan konsep hierarki pengelolaan limbah, yaitu perubahan perilaku dan konsumsi berkelanjutan, memperluas tanggung jawab produsen dan konsumen, daur ulang sampah 100%, melarang pembuangan sampah ke TPA dan insinerasi, serta memulihkan (recovery) sumber daya yang terbuang. Kelima prinsip ini harus dijalankan secara bersamaan, disertai dengan inisiatif jangka panjang untuk memperoleh hasil efektif (A. U. Zaman & Lehmann, 2011).
5 prinsip utama penerapan zero waste city (A. U. Zaman & Lehmann, 2011)
Apa saja yang menjadi tantangan penerapan Zero Waste Cities?
Pietzsch et al. (2017) merangkum tantangan implementasi zero waste berdasarkan tingkatan implementasi zero waste secara holistik, yaitu kategori makro dan meso-mikro. Pada kategori makro, variabel eksternal yang menjadi tantangan adalah politik, budaya, ekonomi, dan teknologi. Sementara itu, pada variabel meso dan mikro, variabel yang menjadi tantangan adalah biaya, kurangnya pengetahuan teknis & operasional, efektivitas dan kelayakan, serta kurangnya inovasi dan investasi.
Tantangan Penerapan Zero Waste di Indonesia
Kementerian PPN/Bappenas (2023) mencatat tantangan implementasi ekonomi sirkular dengan membaginya menjadi sektor penghasil limbah utama, yaitu sektor pangan, kemasan plastik, elektronik, konstruksi, dan tekstil. Berdasarkan hasil penjabaran, tantangan dari setiap sektor masih seputar pada pengelolaan yang belum optimal, belum merata, dan belum terintegrasi. Selain itu, regulasi, intervensi, teknologi, dan pendanaan juga turut menghambat tercapainya zero waste city.
Selain itu, menurut Kementerian PPN/Bappenas (2023), praktik zero waste city melalui implementasi sirkular ekonomi di daerah juga sering terhambat karena beberapa faktor seperti perlunya penerimaan paradigma dan budaya organisasi di tingkat pemerintah daerah, masih rendahnya kesadaran dan pendidikan masyarakat yang menyebabkan kurangnya partisipasi masyarakat, keterbatasan sumber daya dan kapasitas, kurangnya pengembangan infrastruktur yang mendukung aktivitas ekonomi sirkular, serta kebijakan dan regulasi yang tidak konsisten antar pemerintah daerah. Namun Bappenas juga memiliki strategi untuk mengatasi hal tersebut dengan cara penguatan kapasitas pemerintah daerah, pengembangan tata kelola ekonomi sirkular di pemerintah daerah, implementasi pilot project di tingkat daerah, serta pengembangan regulasi penudukung ekonomi sirkular di daerah.
Referensi
Kementerian PPN/Bappenas. (2023). Peta Jalan & Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045. https://lcdi-indonesia.id/wp-content/uploads/2024/07/RAN-ES-2025-2045.pdf
Lee, R. P., Meyer, B., Huang, Q., & Voss, R. (2020). Sustainable waste management for zero waste cities in China: Potential, challenges and opportunities. Clean Energy, 4(3), 169–201. https://doi.org/10.1093/ce/zkaa013
Pietzsch, N., Ribeiro, J. L. D., & de Medeiros, J. F. (2017). Benefits, challenges and critical factors of success for Zero Waste: A systematic literature review. Waste Management, 67, 324–353. https://doi.org/10.1016/j.wasman.2017.05.004
Song, Q., Li, J., & Zeng, X. (2015). Minimizing the increasing solid waste through zero waste strategy. Journal of Cleaner Production, 104, 199–210. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2014.08.027
United Nations Environment Programme. (2024a). Global Resources Outlook 2024 Summary for Policymakers: Bend the Trend – Pathways to a liveable planet as resource use spikes. International Resource Panel. https://wedocs.unep.org/20.500.11822/44902
United Nations Environment Programme. (2024b). Global Waste Management Outlook 2024 Executive Summary: Beyond an age of waste – Turning rubbish into a resource. https://wedocs.unep.org/20.500.11822/44992. https://doi.org/10.59117/20.500.11822/44939
Zaman, A. (2022). Zero-Waste: A New Sustainability Paradigm for Addressing the Global Waste Problem. The Vision Zero Handbook: Theory, Technology and Management for a Zero Casualty Policy, 1–1240. https://doi.org/10.1007/978-3-030-76505-7
Zaman, A. U., & Lehmann, S. (2011). Challenges and Opportunities in Transforming a City into a “Zero Waste City.” Challenges, 2(4), 73–93. https://doi.org/10.3390/challe2040073